Dengerin lagu-lagu hits dan berita terupdate hanya di Radio Mercu Buana.

Perbanyak Pop, Kurangi Rock: Perubahan yang Tak Pernah Direncanakan

Sumber: Cultura.id

Halo, Rekan Buana.

Ada masa di mana satu-satunya saluran suara yang bisa diterima oleh telinga saya adalah musik yang hanya penuh distorsi dan teriakan vokalis dari band-band rock ternama. Saat itu, musik keras terasa seperti tempat paling aman untuk merespons kerasnya hidup. Tapi sekarang, entah sejak kapan, lagu-lagu dengan melodi ringan dan lirik manis yang dulu saya anggap remeh justru mulai terdengar nyaman di kuping kecil ini. Aneh rasanya, saya tak lagi merasa bersalah mendengarkannya. Tidak seperti dulu, ketika saya begitu keras menolak suara-suara lembut itu.

Perubahan ini, Rekan Buana, tentu tidak datang begitu saja. Kupikir, mungkin inilah yang dimaksud orang-orang ketika bilang, “Air yang tenang justru paling menghanyutkan.” Saya tak tahu pasti kapan titik baliknya, tapi yang jelas, suara-suara itu muncul saat menu favorit saya terlihat dari kejauhan, atau ketika bayangannya menyusup perlahan di antara sel-sel otak kecil ini. 

Lalu saya mulai bertanya-tanya: apakah hanya saya yang mengalami hal ini? Atau memang musik selalu punya cara untuk berkompromi dengan isi kepala kita? Ternyata, tidak sedikit yang merasakan hal serupa. Beberapa teman dekat saya yang dulu keras kepala soal musik keras kini, saat terjatuh dalam jurang perasaan yang sulit dijelaskan, justru memutar musik pop seperti Hivi!, Tulus, Sal Priadi, hingga Fiersa Besari. Playlist mereka berubah, seiring dengan isi hati yang juga bergeser. Ternyata, bukan hanya telinga yang bisa lentur ego pun bisa goyah kalau sudah digempur oleh rasa.

Menurut data dari platform musik yang sering kita gunakan, genre pop mengalami lonjakan pemutaran signifikan saat musim semi dan musim panas masa di mana banyak orang berada dalam fase optimis, penuh harap, atau bahkan romantis. Lagu-lagu bertempo ringan, secara statistik memang lebih banyak dipilih dibandingkan musik dengan distorsi keras. 

Saya yang dulu menganggap lagu pop sebagai produk pabrik perasaan palsu, sekarang justru merasa lebih terwakili olehnya. Dulu saya menjauhi musik pop karena takut terlihat terlalu lemah seolah kelembutan adalah bentuk kekalahan. Tapi sekarang saya tahu, bahwa membuka ruang bagi perasaan bukanlah bentuk kekalahan.

Di antara laki-laki terutama, mendengarkan lagu pop kadang dianggap ‘tidak cukup maskulin’. Seolah ada standar tidak tertulis bahwa yang kuat tidak boleh terlalu merasa, apalagi memutar lagu dengan lirik sentimental. 

Padahal, Rekan Buana, musik sama halnya seperti perasaan, ia tak pernah mengenal gender ataupun genre secara kaku. Ia hanya butuh ruang, waktu, dan momen yang pas untuk dimengerti dan didengar.

Lagu-lagu pop itu, entah bagaimana, bisa merangkul isi hati yang bahkan tak bisa saya ucapkan. Setiap kali terdengar terlalu manis, saya hanya bisa tersenyum kecil. Mungkin karena saya tahu: distorsi tak lagi dibutuhkan saat semuanya sudah cukup terasa bising di dalam diri.